Berbicara praktik industri pertambangan sama halnya berbicara
sesuatu yang kompleks. Permasalahan yang
dihadapi pun beragam hinggap silih berganti dalam setiap proses yang
dilaluinya. Saya mengategorikan permasalahan yang jamak dihadapi perusahaan
kedalam tiga fase mulai dari permasalahan pra-produksi hingga nanti bagaimana
nasib wilayah pasca operasi tambang tersebut. Fase pertaman adalah pra-produksi
tambang, pun fase ini sudah turut berkontribusi dalam menyemai konflik, misalnya:
pembebasan lahan. Tidak semua tahap pembahasan lahan berjalan mulus, tidak
semua masyarakat langsung sepakat dengan harga beli yang di tawarkan. Berawal
dari ini, sikap perusahaan menentukan bagaimana pola hubungan yang akan
terbangung dengan masyarakat sekitar. Apabila perusahaan mengahadapinya dengan
tangan dingin bisa jadi akan tercipta hubungan harmonis dikemudian hari, namun
apabila cara yang ditempuh perusahaan sudah dengan sistem kekerasan bisa jadi
benih-benih dendam tersemai halus kedalam masyarakat dan tumbuh bersama
sikap-sikap penolakan keras terhadap operasi pertambangan tersebut. Fase kedua
adalah fase produksi, dalam fase ini permasalahan yang dihadapi cukup beragam,
namun apabila ditarik garis besar permasalahan yang sering muncul antara lain: kecemburuan
yang terjadi di masyarakat lokal, terkait alokasi sumberdaya manusia (pekerja)
yang lebih banyak diambil dari tenaga di luar daerah mereka, atau masyarakat
meresa terganggu dan dirugikan atas aktivitas yang dilakukan perusahaan sehingga
masyarakat menuntut berbagai dana kompensasi atas aktivitas yang dilakukan
perusahaan tersebut. Aksi yang dilakukan masyarakat pun beragam guna mendapat
perhatian perusahaan atas masalah-masalah tersebut, mulai dari demonstrasi ke
perusahaan hingga pemblokiran jalan yang dilalui kendaraan-kendaraan perusahaan.
Tentunya langkah masyarakat ini menjadi pukulan bahkan ancaman bagi eksistensi
bisnis perusahaan. Mengatasnamakan esistensi operasi, maka perusahaan
menerapkan berbagai tawaran “damai” untuk masyarakat lokal setempat. Program
tersebut yang kemudian diklaim sebagai program CSR oleh perusahaan atau
masyarakat lokal di salah satu site tambang di Indonesia menyebutnya dengan
sebutan “comdev”. Dalam industri ekstraktif, praktik CSR yang dijalankan hanya
sebatas pada program-program kekinian, perusahaan bersifat responsif atas
reaksi yang ditimbulkan oleh masyarakat. Sehingga program CSR tak ubanya hanya
sesuatu “kartu ijin operasi” (legal to
operate) yang diberikan masyarakat terhadap perusahaan tersebut.
Menjadi sah, apabila perusahaan memiliki gaya dan strateginya sendiri dalam menentukan strategi dalam menjaga eksistensi bisnisnya. Masyarakat juga terlena atas “nikmat-nikmat” yang disajikan dalam program CSR perusahaan yang lebih banyak aksi filantropi jika dibandingkan dengan aksi pembanguan yang berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini yang menjadi boomerang jangka panjang. masyarakat akan sangat bergantung dengan keberadaan perusahaan.
Praktik bisnis perusahaan saat ini dituntut tidak hanya fokus pada orintasi bisnis profit yang dihasilkan namun bagaimana bisnis tersebut mampu bersinergi dengan lingkungan dan bersikap harmonis dengan masyarakat lokal, dua hal tersebut menjadi penting untuk digunakan sebagai pijakan dalam menyeleseikan permasalahan-permasalahan di atas.
Sejalan dengan tiga fase di atas, strategi yang perlu dilakukan dalam rangka untuk menjaga sustainabilitas bisnis guna menciptakan bisnis yang berkelanjutan, ada tiga tahapan, yaitu: penyeleseian konflik, harmonisasi dengan stakeholder (good partnership) dan merencanakan exit strategy pasca operasi perusahaan. Dalam tiga treatment, permasalahan penting dan jarang diangkat sebagai kajian oleh berbagai pihak adalah bagaimana nasib ekosistem termasuk masyarakat yang ada didalamnya setelah operasi tambangan usai. Nasib bagaimana nanti lingkungan dan penghidupan masyarakat pasca operasi perusahaan khususnya tambang belum menjadi fokus. Capaian terbaik perusahaan saat ini masih sebatas menciptakan good partnership dengan lintas stakeholder, hal ini merupakan starting point yang bagus untuk mewujudkan menciptakan rencana strategis guna menyiapkan wilayah dan sumberdaya pasca tambang. Sehingga fenomena-fenomen ghost town tidak lagi terjadi.
Menjadi sah, apabila perusahaan memiliki gaya dan strateginya sendiri dalam menentukan strategi dalam menjaga eksistensi bisnisnya. Masyarakat juga terlena atas “nikmat-nikmat” yang disajikan dalam program CSR perusahaan yang lebih banyak aksi filantropi jika dibandingkan dengan aksi pembanguan yang berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini yang menjadi boomerang jangka panjang. masyarakat akan sangat bergantung dengan keberadaan perusahaan.
Praktik bisnis perusahaan saat ini dituntut tidak hanya fokus pada orintasi bisnis profit yang dihasilkan namun bagaimana bisnis tersebut mampu bersinergi dengan lingkungan dan bersikap harmonis dengan masyarakat lokal, dua hal tersebut menjadi penting untuk digunakan sebagai pijakan dalam menyeleseikan permasalahan-permasalahan di atas.
Sejalan dengan tiga fase di atas, strategi yang perlu dilakukan dalam rangka untuk menjaga sustainabilitas bisnis guna menciptakan bisnis yang berkelanjutan, ada tiga tahapan, yaitu: penyeleseian konflik, harmonisasi dengan stakeholder (good partnership) dan merencanakan exit strategy pasca operasi perusahaan. Dalam tiga treatment, permasalahan penting dan jarang diangkat sebagai kajian oleh berbagai pihak adalah bagaimana nasib ekosistem termasuk masyarakat yang ada didalamnya setelah operasi tambangan usai. Nasib bagaimana nanti lingkungan dan penghidupan masyarakat pasca operasi perusahaan khususnya tambang belum menjadi fokus. Capaian terbaik perusahaan saat ini masih sebatas menciptakan good partnership dengan lintas stakeholder, hal ini merupakan starting point yang bagus untuk mewujudkan menciptakan rencana strategis guna menyiapkan wilayah dan sumberdaya pasca tambang. Sehingga fenomena-fenomen ghost town tidak lagi terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar