Rabu, 25 Mei 2011

Ibu Pahlawan Devisa


Midweek waktu yang asyik buat perjalanan karena kendaraan umum sepi. Kemarin  Ibuku ada acara sekolah di Surabaya  bersama teman-temanya. Sebenarnya ditawari ikut sich, tapi aku menolak karena aku tidak cukup mengenal teman-teman ibuku di sekolah yang baru. Daripada tidak nyaman mending di rumah saja. Yasudah aku putuskan di rumah saja untuk menyeleseikan tulisan, karena aku berminat apply sebuah program yang mensyaratkan untuk membuat essay. Ternyata Tuhan memberi cerita lain untuk mediaku belajar atau mungkin dari cerita itu aku jadi punya bahan dan pengetahuan untuk memperkaya essay yang ku tulis. Karena aku percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kebetulah, segala sesuatu merupakan kehendak-Nya.
Dia mengirimku ke malang, sekitar 80 Km ke arah timur dari Blitar. Kota dimana aku tinggal.  Tujuan ke Malang hanya jalan-jalan dan makan-makan daripada di rumah sendirian. Selama disana kami (aku, teni dan adiku) hanya ngemil, makan, nonton, ngemil, dan makan. Inilah salah satu cara menikmati liburan J
Pelajaran pertama aku dapat dari teman perjalanku. Seorang ibu sekitar tiga puluh tahun. Dari saling senyum maka berlanjut dari sebuah percakapan yang sepertinya memakasaku untuk menggeser logika berfikirku sehingga aku (belajar) memahami yang dimakadud ibu tersebut.

Rabu, 18 Mei 2011

Dimana Mereka Sekarang . . ?

Hidup di lingkungan perkampungan membuat masa kecilku pada era 90-an awal membawaku untuk pada kehangatan masa anak-anak. Sebagai sulung bahkan sempat menjadi anak tunggal tak jarang aku mendapat perlakuan overprotective dari keluarga, namun hal itu tak merusak sosialisasiku dengan kawan sebayaku. Aku tumbuh normal dengan lingkungan yang hangat normalnya anak seusiaku. Aku masih ingat ketika hujan turun, kami justru bermain dengan tengah hujan walaupun untuk itu aku harus diam-diam keluar rumah ketika semua orang rumah sedang istirahat siang. Atau ketika cuaca cerah kami bermain pasir untuk membuat rumah-rumahan. Setelah jadi kami membuat drama bagi pengguni rumah tersebut. Tampak lucu dan konyol jika mengingat masa itu, tapi bukankah hal tersebut bisa dimaknai sebagai pemantik kreativitas.?

Letter to Van Orange


Yang teringat ketika menyebut nama belanda adalah tokoh antagonis dalam imprialisme akibat perang dunia. Yaaaa, karena materi sejarah ketika sekolah dulu selalu mengatakan bahwa belanda adalah penjajah telah menduduki  Indonesia selama sekian ratus tahun.  Terlepas dari hubungan buruk tersebut, tulisan ini merupakan sebuah surat untuk Meneer en Mevrouw di Negeri Van Orange.

Hai Meneer. . .,  

Tidakah kau ingat apa saja hal baik yang telah kau wariskan kepada negeri kami? Bangunan peninggalanmu sampai saat ini masih berdiri kokoh. Jaringan rel kereta api pun saat ini masih beroprasi dengan baik. Bahkan produk hukum peninggalanmu masih kami gunakan sampai saat ini. Ingatkah, kau meninggalkan hasil jadi, tanpa kami tahu bagaimana cara membuatnya. Negeri kecilmu nun jauh disana memang telah bersinar. Sederat predikat dunia telah kau sandang, mualai dari: The First Happiest Living11th Best Country for Live,  8 th Quality of Education, dan masih banyak lagi.
 Sejauh  yang aku tahu, membangun sebuah negara di mulai dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Salah satu cara yang bisa di tempuh adalah bagaimana peningkatan kualitas pendidikan, karena dalam prespektifku ketika pendidikan tersebut telah baik maka akan berpengaruh terhadap aspek pendukung lainnya sehingga mampu menjadi sebuah Negara Welfare state. Ketika aku berbincang tentang welfare state untuk saat ini di Indonesia, mungkin terlalu jauh dari jangkauan, namun setidaknya aku memiliki keinginan untuk membangun negeriku sehingga tercipta pembangunan yang berkelanjutan. Yaa, aku dulu belajar tentang membangun masyarakat melalui pemecahan masalah yang  dihadapi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi mereka. Setidaknya memunculkan gagasan sebagai bentuk upaya untuk peningkatan standar kualitas hidup. Selang waktu berjalan aku berkenalan dengan salah satu komunitas interdisipliner dikampus, dimana dalam komunitas tersebut aku belajar untuk mengawinkan antara aspek sosial dan penggunaan teknologi tepat guna untuk membangun sebuah masyarakat. Minat tersebut yang kemudian membawaku untuk melirik negeri Van Orange, dimana kedepan aku berharap bisa menimba ilmu disana.

Warisan Nenek Moyang




Aku berjalan  disalah satu gang kecil yang tak jauh dari jalan kota dan salah satu kampus di jogja. Hiruk-pikuk kota pun masih terdengar nyaring di tempat itu. Tak jauh dari tempat itu ada warung makan yang menjajakan makanan. Penjajanya adalah para mahasiswa yang notabene adalah anak kost, karana alasan tak ada waktu atau bagi kami (anak kost) penyuka hal-hal instan membeli makan jauh lebih dianggap praktis daripada bersusah masak. Bagi mereka yang berpasangan, dinner sebagai rutinitas yang dilakukan bersama pasanganya, tentunya hal ini tidak berlaku untuk semua orang.

Dari Mereka yang Selalu Dinamis

Beberapa waktu lalu aku sempat ke Jogja, bagaimanapun juga selalu ada alasan untuk berkunjung kota itu. Sampai-sampai saat ini aku masih tercatat sebagai penghuni kost di salah satu rumah kost yang ada disana. Dua minggu disana, banyak cerita yang ku alami, status sekarang memang beda, jika dulu bisa melenggang bebas main kesana kemari dengan status mahasiswa atau pekerja, sekarang predikat jobseeker jadi lebih direm main-mainnya,hehe (sebenarnya karena semakin sedikit temen mainnya, hihi)

Di minggu pertama, waktu terfokus untuk 'jalan-jalan' ke masyarakat, gak full seminggu sich, tapi beragam cerita bisa di ambil. Pada waktu itu aku ikut survei salah satu harian nasional sebagai enumerator. Ternyata modal lima tahun hidup di jogja tidak menjamin ku tahu wilayah jogja dan sekitarnya. Yang aku tahu hanya mall dan tempat-tempat main yang menarik dan bisa di buat narsis berfoto J