Rabu, 25 Mei 2011

Ibu Pahlawan Devisa


Midweek waktu yang asyik buat perjalanan karena kendaraan umum sepi. Kemarin  Ibuku ada acara sekolah di Surabaya  bersama teman-temanya. Sebenarnya ditawari ikut sich, tapi aku menolak karena aku tidak cukup mengenal teman-teman ibuku di sekolah yang baru. Daripada tidak nyaman mending di rumah saja. Yasudah aku putuskan di rumah saja untuk menyeleseikan tulisan, karena aku berminat apply sebuah program yang mensyaratkan untuk membuat essay. Ternyata Tuhan memberi cerita lain untuk mediaku belajar atau mungkin dari cerita itu aku jadi punya bahan dan pengetahuan untuk memperkaya essay yang ku tulis. Karena aku percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kebetulah, segala sesuatu merupakan kehendak-Nya.
Dia mengirimku ke malang, sekitar 80 Km ke arah timur dari Blitar. Kota dimana aku tinggal.  Tujuan ke Malang hanya jalan-jalan dan makan-makan daripada di rumah sendirian. Selama disana kami (aku, teni dan adiku) hanya ngemil, makan, nonton, ngemil, dan makan. Inilah salah satu cara menikmati liburan J
Pelajaran pertama aku dapat dari teman perjalanku. Seorang ibu sekitar tiga puluh tahun. Dari saling senyum maka berlanjut dari sebuah percakapan yang sepertinya memakasaku untuk menggeser logika berfikirku sehingga aku (belajar) memahami yang dimakadud ibu tersebut.
“Sarapan Mbak . . .? Budale mau isuk dadi ra sempat sarapan” dia menawarkan sarapannya padaku.
“Inggih monggo . . .dipun sekecaken . . , Badhe tindak pundi Bu . . . ?” aku mencoba menjawab pertanyaan dengan kembali bertanya.
Malang, kota lama, aku arep neng ujian neng PT” jawab ibu itu
Berawal dari jawaban itu kemudian membawa naluri rasa ingin tahuku beraksi. Muka sok pendiamku berubah kedalam keadan semula yang ingin tahu aja urusan orang, hihihi J
Mungkin karana aku baru saja bertemu dengan salah satu dari mereka pahwalan bangsa. Siapa sich yang tak kenal mereka, pendidikan formalnya mungkin tidak lebih tinggi dari aku, tapi dia telah memberikan banyak hal bagi bangsa ini yaitu DEVISA.
“Aku wes nem tahun neng hongkong mbak, neng kene gawean mung nguno-ngono ae,aku wes ra tlaten, bayare ra sepiro, kerjo neng toko swalayan ngono yo mung telungatus sesasi, prayo lek dingoo tuku pulsane sampean wes entek. Gek kerjone yo kesel. Penak neng luar, Sampean ra pengen neng luar.? Umur Sampean piro, wolulas. .?” (Saya sudah enam tahun kerja di Hongkong. Disini pekerjaan yang seperti ini saja, saya tidak sabar dengan ini, gajinya tidak seberapa. Kerja sebagai pelayan toko swalayan gajinya hanya tiga ratus ribu satu bulan. Uang sebanyak itu mungkin hanya untuk belanja pulsa yang kamu pake. Kerja di sebagai pelayan juga melelahkan, lebih enak kerja di luar negeri. Kamu tidak ingin pergi ke luar negeri ? Umur kamu berapa, delapan belas tahun?)
Dari kata-kata itu reaksi pertama blushing, jika itu gambarkan dalam film cartoon mungkin aku sudah menari-nari, kata-kata terakhirnya yang mengganggap usiaku delapan belas tahu. OGM . . .! speechless but Thank You, because(maybe) I’m looks young. Pergi ke luar negeri mau banget apalagi Sekolah ke Inggris atau ke Korea. Kerja di luar negeri? Siapa takut, bahkan aku sempat ingin kerja di UNDP wow keren *jawaban dalam hatiku, gak pede untuk di ungkapkan JJawaban yang keluar untuk ibu itu: “Dereng wanton” (belum berani)
Aku belajar untuk menyederhakan cerita ibu tadi. Motifnya sederhana pula hanya alasan ekonomi.
“Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri”
Sayangnya quote di atas tidak berlaku berlaku untuk semua orang. Ketika orang lapar mereka butuh makan bukan butuh janji kesejahteraan. Kesimpulan sederhananya demikian.
Emas dan batu bukan sebuah benda seimbang yang untuk di komparasikan. Aku tidak ingin berkomentar tentang perpolitikan Indonesia tentunya masih punya korelasi jika di tarik garis dari cerita ibu tadi.
Minten, nama ibu tadi. Perempuan asal lodoyo, arah tenggara dari pusat kota Blitar. Eman tahun kerja jadi pembantu rumah tangga di Hongkong. Membuatnya ingin kembali merasakan emas-emas di Hongkong.
Enam tahun mejadi TKW bukan waktu yang singkat lho. Bahkan dia pun cerita ketika aku bertanya ranah privat yaitu salary. Menurutnya gaji itu di bagi dua, jika under maka akan dua koma sekian juta, tapi jika full bisa tiga sampai empat jutaan. Under tersebut maksudnya apabila dia berangkat menggunakan PT (perusahaan jasa penyalur tenaga kerja) maka akan di potong. Itu hanya berlaku dua tahun pertama setelah itu dia akan mendapat full.
Kenapa kembali ke Hongkong dan tidak di Negara lain.?
Jawaban Bu Minten, karena ke prosesnya mudah, ke Hongkong perginya gratis tidak pake biaya. Jika ke Taiwan sekitar tiga puluh lima juta, kalau Korea empat puluh lima. Aku seolah kembali nemenukan motif ekonomi dari cerita Bu Minten tersebut.
Kembali aku bermain dengan pikiranku, dengan gaji dan tempo dia bekerja. Kemana ya aliran uang itu. Namun sayang aku belum konfirmasi lebih lanjut. Akur pikir itu sudah masuk ranah yang tidak sopan ituk ditanyakan. Pikiranku menawarkan jawaban atas pradugaku, sepertinya kesalahan ada pada management asset. Uang yang dia dapatkan tak dapatkan dia putar sebagai modal usaha di negeri ini.  Itu hanya alternative pikirku dalam menjawab, bisa saja mungkin ibu itu memang nyaman dengan iklim kerja disana. Dan banyak parduga-parduga jawaban lain dan kita masing-masing dari kita bisa urun praduga itu untuk sebuah formula solusi, tentu saja hal solusi akan di dapat jika hal tersebut maknai sebagai masalah. jika buka kenapa harus berfikir solusi...?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar