Selasa, 18 Desember 2018

Romantisme Budaya Nongkrong

Masyarakat selalu berkembang dari waktu ke waktu, meskipun kecil dari perkembangan tersebut membawa perubahan-perubahan didalamanya. Perubahan yang dimaksud tidak hanya dilihat secara makna tapi juga perubahan dari sisi akvititas dalam budaya tersebut. Nongkrong bukan  budaya baru bagi masyarakat Indonesia. 
    Hampir di berbagai wilayah di Indonesia memiliki ciri masing-masing dalam melakukan aktivitas nongkrong.  Misalnya di Jogja, nongkrong sudah  menjadi pemandangan yang jamak khususnya tempat-tempat daerah kantong mahasiswa. Dulu nongkrong dimaknai sebagai aktivitas informal untuk bertukar informasi dan memperkuat ikatan hubungan sosial didalamnya. Disadari atau tidak, nongkrong saat ini berkembangan mengikuti dinamika dalam  masyarakat. Jogja pun menawarkan beragam tempat nongrong  mulai dari angkringan hingga coffee shop yang menjadi ikon pergaulan kelompok kelas tertentu. Berbicara tentang angkringan, jika dulu angkringan  identik dengan  jajanan makanan murah, saat ini beberapa angkringan di Jogja sudah berevolusi menjadi icon gaul dan lokasi tujuan wisata. Misal di angkringan KR pada malam-malam tertentu digunakan untuk lokasi berkumpulnya komunitas-komunitas yang ada di Jogja. Tidak hanya angkringan yang menemukan evolusinya, jika diamati dalam satu tahun terakhir tempat pilihan tempat nongkrong yang mulai dimininati dan menarik adalah  outlet waralaba saat ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup dalam dinamika masyarakat.

Nongkrong hingga saat ini masih dilaksanakan sebagai bagian dari proses sosialisasi. Perbedaan yang nampak pada adalah pola interaksi yang dibangung antar pelaku itu sendiri, Nongkrong  tidak hanya sebagai bentuk interaksi informal orang dengan orang lain secara nyata saja tapi juga, pola interaksi antara orang dengan orang lain secara maya.[1] Misalnya alasan orang “nongkrong” di tempat A, B atau C bukan karena pilihan menu atau yang ditawarkan tapi bagaimana kecepatan internet yang ditawarkan di tempat tersebut. Meskipun  ironi, namun fakta ini nyata di beberapa kalangan tertentu. Dalam  ilustrasi tersebut nampak bahwa ada pergeseran makna dari nilai komuditas yang dijual tidak hanya makanan sebagai main product, tapi fasilitas tambahan yang ditawarkan sebagai paket penjualan  produk. Nongkrong sebagai gaya hidup sudah menjadi bagian dari aktivitas sosial di masyarakat, yang membedakan adalah tujuan dari nongkrong tersebut yang membedakan antara individu satu dengan lainnya. Selain itu, yang kemudian nampak adalah meskipun samar pilihan lokasi  yang menujukan stratifikasi kelas sosial tertentu.
 Budaya nongkrong menimbulkan pertanyaan apakah fenomena nongkrong  merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan sebagai tempat untuk mewadahi pertukaran informasi secara informal ataukah nongkrong dimaknai sebagai aktivitas sebagai tuntutan perkembangan gaya hidup atas setting yang dilakukan oleh pasar?


Tulisan ini diadaptasi dari paper tugas kuliah "Budaya Nongkrong dan Masyarakat Kelas Menengah"



[1] Melalui aktivtas di dunia maya. Aktivitas “nongkrong” dilakukan di tempat tersebut disebakan oleh kecepatan akses internet yang ditawarkan di lokasi tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar