Masyarakat
selalu berkembang dari waktu ke waktu, meskipun kecil dari perkembangan
tersebut membawa perubahan-perubahan didalamanya. Perubahan yang dimaksud tidak
hanya dilihat secara makna tapi juga perubahan dari sisi akvititas dalam budaya
tersebut. Nongkrong bukan budaya baru
bagi masyarakat Indonesia.
Hampir
di berbagai wilayah di Indonesia memiliki ciri masing-masing dalam melakukan
aktivitas nongkrong. Misalnya di Jogja, nongkrong
sudah menjadi pemandangan yang jamak
khususnya tempat-tempat daerah kantong mahasiswa. Dulu nongkrong dimaknai
sebagai aktivitas informal untuk bertukar informasi dan memperkuat ikatan hubungan
sosial didalamnya. Disadari atau tidak, nongkrong saat ini berkembangan mengikuti
dinamika dalam masyarakat. Jogja pun
menawarkan beragam tempat nongrong mulai
dari angkringan hingga coffee shop
yang menjadi ikon pergaulan kelompok kelas tertentu. Berbicara tentang
angkringan, jika dulu angkringan identik
dengan jajanan makanan murah, saat ini
beberapa angkringan di Jogja sudah berevolusi menjadi icon gaul dan lokasi
tujuan wisata. Misal di angkringan KR pada malam-malam tertentu digunakan untuk
lokasi berkumpulnya komunitas-komunitas yang ada di Jogja. Tidak hanya
angkringan yang menemukan evolusinya, jika diamati dalam satu tahun terakhir
tempat pilihan tempat nongkrong yang mulai dimininati dan menarik adalah outlet
waralaba saat
ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup dalam dinamika masyarakat.
Nongkrong
hingga saat ini masih dilaksanakan sebagai bagian dari proses sosialisasi.
Perbedaan yang nampak pada adalah pola interaksi yang dibangung antar pelaku
itu sendiri, Nongkrong tidak hanya sebagai
bentuk interaksi informal orang dengan orang lain secara nyata saja tapi juga,
pola interaksi antara orang dengan orang lain secara maya.[1]
Misalnya alasan orang “nongkrong” di tempat A, B atau C bukan karena pilihan
menu atau yang ditawarkan tapi bagaimana kecepatan internet yang ditawarkan di
tempat tersebut. Meskipun ironi, namun
fakta ini nyata di beberapa kalangan tertentu. Dalam ilustrasi tersebut nampak bahwa ada pergeseran
makna dari nilai komuditas yang dijual tidak hanya makanan sebagai main product, tapi fasilitas tambahan
yang ditawarkan sebagai paket penjualan produk.
Nongkrong sebagai gaya hidup sudah menjadi bagian dari aktivitas sosial di
masyarakat, yang membedakan adalah tujuan dari nongkrong tersebut yang membedakan
antara individu satu dengan lainnya. Selain itu, yang kemudian nampak adalah
meskipun samar pilihan lokasi yang
menujukan stratifikasi kelas sosial tertentu.
Budaya nongkrong menimbulkan pertanyaan apakah
fenomena nongkrong merupakan sarana
untuk pemenuhan kebutuhan sebagai tempat untuk mewadahi pertukaran informasi
secara informal ataukah nongkrong dimaknai sebagai aktivitas sebagai tuntutan perkembangan
gaya hidup atas setting yang
dilakukan oleh pasar?
Tulisan ini diadaptasi dari paper tugas kuliah "Budaya Nongkrong dan Masyarakat Kelas Menengah"
[1] Melalui aktivtas di dunia
maya. Aktivitas “nongkrong” dilakukan di tempat tersebut disebakan oleh
kecepatan akses internet yang ditawarkan di lokasi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar