Sabtu, 28 Januari 2012

Mau di Bawa Kemana Adek-Adek Itu.?

Sore itu langit Jogja mendung dan gerimis. Meskipun turun hujan aku tetap berkunjung ke temanku, selain untuk bersilaturahmi tujuan lainnya adalah untuk mencari responden. Kebetulan aku sedang menjadi enumerator riset salah satu media nasional. Sistem purposive sampling membuatku harus berimprovisasi di lapangan dengan menggunakan snowball sampling, jadilah sore itu aku berkunjung ke temanku dengan tujuan mencari responden plus ikut kegiatan PAUD. Kebetulan temanku ini merupakan aktivis sosial di tempat tinggalnya, beliau aktif dalam berbagai kegiatan kampung. Salut buat beliau dan terimakasih mbak atas link respondennya 
Ada yang menarik perhatianku ketika melihat pemandangan sore itu. Awalnya tak ada yang aneh ketika melihat anak les. Sekarang saja anak TK sudah berdondong-bondong untuk les apalagi anak SD. Well, kembali ke adek SD tadi, ketika aku lihat adek SD tadi sedangan belajar matematika. Sebenarnya aku sangat tertarik dengan metode yang di gunakan guru les tersebut. Beliau membuat sistem belajar sambil bermain. Ibu gurunya sudah modern. J Namun, tiba-tiba aku jadi mlogo ketika melihat bahasa yang di gunakan. Guru dan murid itu menggukan bilingual. Jika nonton film kita gak paham artinya bisa ganti subtilenya. Tapi sekolah dengan dua bahasa untuk anak usia tujuh tahun, aku masih mempertanyakan sistem efektivitasnya. Apa iya pelajaran akan masuk dengan mudah. Sederhana alur pikirnya, mereka (anak-anak itu, red.) otaknya dua kali kerja. Aku buka psikolog tapi meliat pemandangan seperti itu jadi kasian terhadap mereka. Adek tadi bersekolah di salah satu sekolah dengan titile rintisan sekolah berstandart international (RSBI).Apalagi mereka yang bersekolah di sekolah internasional yaa... *berfikir*. 

Jam menujukan pukul 16.45 adek tadi sudah nampak kelehanan. Ibu guru yang tahu si anak mulai tidak fokus menempelkan tanganya ke kening adek tadi. 
"Wah.. Panas... yasudah pelan-pelan dek.." kata ibu guru ke muridnya
Aku masih terheran-heran dan ku bertanya ke Ibu Guru "Ngefek mbak...?" 
"Sangat signifikan dek, apalagi kalau di sekolah antara pagi dan siang nampak sekali perbedaannya" Jelas Ibu guru padaku
Guru les tersebut selain mengajar les si adek SD tadi juga guru sekolahnya. Obrolan ku dengan guru itu berlanjut.
"Dek.. tahu enggak, adek ini nanti adek ini [menujuk anak muridnya] setelah dari sini masih ada les lagi. iya kan Dek..?Les apa, Bahasa Inggris yaa..? " Sambil memastikan ke anak muridnya. Dalam hati aku cuma bisa bilang.. Wow sadis juga sistemnya.  Sabar ya Nak.!
"Woww.. luar biasa mbak, di sekolah seperti itu dek rata-rata.  Meskipun mereka sudah mendapat les di sekolah tapi mereka masih nambah lest di luar. Mulai dari the best hingga the last semua les. Semakin bontot rankingnya semakin banyak les-nya. Bahkan ada yang di dampingi psikolog" Jelas ibu guru. Lagi-lagi aku hanya bisa bilang dalam hati ngerinyaaa.
"Aku selalu pesan ke orang tua, sebelum berangkat les anaknya di tanya dulu mau les atau tidak, jangan sampai anak dipaksa untuk les" Ungkap Bu Guru. Menurutku ibu guru bijak ini kalah power dengan sistem pendidikan, jadi apa daya acara les bilingual pun tetep terjadi. Hee hee J
Acara les sore di akhiri dengan member reward pada adek SD. Berhubung dia bisa mengerjakan soal dengan baik maka dia dia mendapat ‘star’ [star: adalah stiker bintang, stiker ini di dapat ketika anak berhasil menyeleseikan soal-soal yang diberikan dengan sempurna. Stiker ini jika sudah punya lima akan menjapatkan stiker the owl]. Hmmm.. menarik juga sistem tersebut, dulu jamaku belum ada..heeee
Aku benar-benar ternganga ketika terlibat obrolan tadi, seperti manusia yang loncat melalui musim waktu. Membayangkan ketika aku seusia adek itu aku masih sibuk dengan tulisan “INI IBU BUDI”, bahkan dulu ketika jadi murid titipan di SD di salah satu  kota di Kalimantan Timur, aku merasa bersinar dibanding teman-teman sebayaku kala itu, karena yang kurasakan saat itu, dekte dari guru SD ku di Jawa lebih sulit jika dibandingkan dengan dekte yang di berikan oleh guru SD ku di Kalimantan. Sedangkan melihat adek SD itu aku merasa beban belajarnya lebih berat di bandingkan mahasiswa. Jadi teringat, betapa aku jarang belajar semasa sekolah.
Kembali ke masalah pendidikan, fokus perhatianku lebih  kepada RSBI. Aku masih merasa janggal dengan sistem ini. Seolah aku tidak seimbang dalam menilai keberadaan RSBI dan International School. Asusmsi ku adalah international school yang ada di kota-kota besar Indonesia bertujuan untuk memehuni kebutuhan pendidikan para keluarga expatriate yang ada di Indonesia. Akan sangat wajar ketika mereka belajar di sekolah dengan mennggunakan bahasa inggris karena bahasa mereka di rumah pun menguunakan bahasa inggris. Namun, berbeda cerita dengan para siswa penghuni RSBI, maaf tanpa menafikan latar belakang keluarga, bahasa ibu mereka di rumah bisa jadi menggunakan bahasa daerah bagi mereka yang tingga di daerah atau setidaknya menggunakan Bahasa Indonesia ketika bergaul dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, aku masih terheran-heran ketika melihat siswa-siswa harus di paksa belajar banyak bahasa sejak dini. Ada semacam kekawatiran dalam prespektifku bahwa mereka akan kehilangan jati diri bahasa mereka. Jika ini berlangsung massive bukan tidak mungkin 20 tahun kedepan bahasa yang lazim di ketika kita beli nasi goreng kaki lima "Maas.., spicy fried rice. bungkus..!" semoga ini hanya imajinasi liarku saja… heee
Jika dalam sebuah penelitan perlu ada sebuah Research Question. Kiranya pertanyaan mendalam dalam tulisan ini adalah apa motivasi para pemangku kebijakan dalam meramu ‘sistem pendidikan ala baru’ ini? Apakah akan efisien untuk mengejar ketinggal kualitas pendidikan di banding tentangga sebelah. Jadi merasa pemikiranku begitu konvensional. Heheee. Ada lagi titip pertanyaan untuk Bapak/Ibu orang tua murid: Apa sebenarnya motivasi orang tuan untuk memasukan anaknya ke sekolah serupa? prestis kah..? Atau...? *bisa bikin skripsi lagi ini, heeee*
Jadi, Mau di Bawa kemana adek-adek itu..? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar